Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu terobosan besar pemerintah dalam pemenuhan gizi anak sekolah kini menghadapi ujian berat. Dalam dua pekan terakhir, lebih dari 8.000 anak di berbagai daerah Indonesia dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari dapur MBG. Kasus paling mencolok terjadi di Bandung Barat, di mana ratusan pelajar dari PAUD hingga SMA terpaksa dilarikan ke fasilitas kesehatan. Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan bahwa sebagian besar kasus terjadi akibat ketidakpatuhan terhadap standar operasional prosedur (SOP) di dapur penyedia pangan bergizi (SPPG). Meski begitu, publik menilai lemahnya pengawasan dan terburu-burunya pelaksanaan program juga menjadi faktor penting yang harus dievaluasi. Pemerintah pusat menegaskan MBG tidak akan dihentikan, namun beberapa dapur yang terbukti lalai sudah ditutup sementara. Meski langkah ini dianggap tepat, sejumlah pihak menilai kebijakan ini belum cukup. Tanpa audit menyeluruh terhadap ribuan dapur yang sudah terbentuk, potensi kejadian serupa bisa berulang. Program yang awalnya dimaksudkan sebagai upaya mengatasi masalah gizi anak kini terancam kehilangan kepercayaan publik. Agar tidak berubah menjadi tragedi berkepanjangan, perbaikan sistem pengawasan, kualitas bahan pangan, dan pelatihan pengelola dapur harus segera menjadi prioritas utama.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu terobosan besar pemerintah dalam pemenuhan gizi anak sekolah kini menghadapi ujian berat. Dalam dua pekan terakhir, lebih dari 8.000 anak di berbagai daerah Indonesia dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari dapur MBG. Kasus paling mencolok terjadi di Bandung Barat, di mana ratusan pelajar dari PAUD hingga SMA terpaksa dilarikan ke fasilitas kesehatan. Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan bahwa sebagian besar kasus terjadi akibat ketidakpatuhan terhadap standar operasional prosedur (SOP) di dapur penyedia pangan bergizi (SPPG). Meski begitu, publik menilai lemahnya pengawasan dan terburu-burunya pelaksanaan program juga menjadi faktor penting yang harus dievaluasi. Pemerintah pusat menegaskan MBG tidak akan dihentikan, namun beberapa dapur yang terbukti lalai sudah ditutup sementara. Meski langkah ini dianggap tepat, sejumlah pihak menilai kebijakan ini belum cukup. Tanpa audit menyeluruh terhadap ribuan dapur yang sudah terbentuk, potensi kejadian serupa bisa berulang. Program yang awalnya dimaksudkan sebagai upaya mengatasi masalah gizi anak kini terancam kehilangan kepercayaan publik. Agar tidak berubah menjadi tragedi berkepanjangan, perbaikan sistem pengawasan, kualitas bahan pangan, dan pelatihan pengelola dapur harus segera menjadi prioritas utama.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu terobosan besar pemerintah dalam pemenuhan gizi anak sekolah kini menghadapi ujian berat. Dalam dua pekan terakhir, lebih dari 8.000 anak di berbagai daerah Indonesia dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari dapur MBG. Kasus paling mencolok terjadi di Bandung Barat, di mana ratusan pelajar dari PAUD hingga SMA terpaksa dilarikan ke fasilitas kesehatan. Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan bahwa sebagian besar kasus terjadi akibat ketidakpatuhan terhadap standar operasional prosedur (SOP) di dapur penyedia pangan bergizi (SPPG). Meski begitu, publik menilai lemahnya pengawasan dan terburu-burunya pelaksanaan program juga menjadi faktor penting yang harus dievaluasi. Pemerintah pusat menegaskan MBG tidak akan dihentikan, namun beberapa dapur yang terbukti lalai sudah ditutup sementara. Meski langkah ini dianggap tepat, sejumlah pihak menilai kebijakan ini belum cukup. Tanpa audit menyeluruh terhadap ribuan dapur yang sudah terbentuk, potensi kejadian serupa bisa berulang. Program yang awalnya dimaksudkan sebagai upaya mengatasi masalah gizi anak kini terancam kehilangan kepercayaan publik. Agar tidak berubah menjadi tragedi berkepanjangan, perbaikan sistem pengawasan, kualitas bahan pangan, dan pelatihan pengelola dapur harus segera menjadi prioritas utama.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu terobosan besar pemerintah dalam pemenuhan gizi anak sekolah kini menghadapi ujian berat. Dalam dua pekan terakhir, lebih dari 8.000 anak di berbagai daerah Indonesia dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari dapur MBG. Kasus paling mencolok terjadi di Bandung Barat, di mana ratusan pelajar dari PAUD hingga SMA terpaksa dilarikan ke fasilitas kesehatan. Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan bahwa sebagian besar kasus terjadi akibat ketidakpatuhan terhadap standar operasional prosedur (SOP) di dapur penyedia pangan bergizi (SPPG). Meski begitu, publik menilai lemahnya pengawasan dan terburu-burunya pelaksanaan program juga menjadi faktor penting yang harus dievaluasi. Pemerintah pusat menegaskan MBG tidak akan dihentikan, namun beberapa dapur yang terbukti lalai sudah ditutup sementara. Meski langkah ini dianggap tepat, sejumlah pihak menilai kebijakan ini belum cukup. Tanpa audit menyeluruh terhadap ribuan dapur yang sudah terbentuk, potensi kejadian serupa bisa berulang. Program yang awalnya dimaksudkan sebagai upaya mengatasi masalah gizi anak kini terancam kehilangan kepercayaan publik. Agar tidak berubah menjadi tragedi berkepanjangan, perbaikan sistem pengawasan, kualitas bahan pangan, dan pelatihan pengelola dapur harus segera menjadi prioritas utama.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu terobosan besar pemerintah dalam pemenuhan gizi anak sekolah kini menghadapi ujian berat. Dalam dua pekan terakhir, lebih dari 8.000 anak di berbagai daerah Indonesia dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari dapur MBG. Kasus paling mencolok terjadi di Bandung Barat, di mana ratusan pelajar dari PAUD hingga SMA terpaksa dilarikan ke fasilitas kesehatan. Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan bahwa sebagian besar kasus terjadi akibat ketidakpatuhan terhadap standar operasional prosedur (SOP) di dapur penyedia pangan bergizi (SPPG). Meski begitu, publik menilai lemahnya pengawasan dan terburu-burunya pelaksanaan program juga menjadi faktor penting yang harus dievaluasi. Pemerintah pusat menegaskan MBG tidak akan dihentikan, namun beberapa dapur yang terbukti lalai sudah ditutup sementara. Meski langkah ini dianggap tepat, sejumlah pihak menilai kebijakan ini belum cukup. Tanpa audit menyeluruh terhadap ribuan dapur yang sudah terbentuk, potensi kejadian serupa bisa berulang. Program yang awalnya dimaksudkan sebagai upaya mengatasi masalah gizi anak kini terancam kehilangan kepercayaan publik. Agar tidak berubah menjadi tragedi berkepanjangan, perbaikan sistem pengawasan, kualitas bahan pangan, dan pelatihan pengelola dapur harus segera menjadi prioritas utama.


